Dikisahkan zaman dulu di Rantau
Mahakam, ada sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ketika ibu mereka
meninggal karena sakit, kehidupan keluarga itu pun berubah. Sang ayah yang
tadinya rajin bekerja menjadi pemurung dan enggan untuk bekerja. Ladang yang
tumbuh subur pun perlahan-lahan mulai mengering dan hasilnya tidak seperti
biasanya.
Demi melihat hal tersebut, anak-anaknya meminta ayah untuk bangkit lagi. Namun,
hati ayah tetap sedih dan tak bergerak. Karena itu, anak-anak meminta sesepuh
desa untuk memberi ayah nasihat. Hasilnya tetap sama, ayah menganggap nasihat
tersebut hanya angin lalu.
Keadaan ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu hari diadakan pesta adat
panen, yang menampilkan berbagai macam pertunjukan seperti tari-tarian dan
pertunjukan adu ketangkasan. Di antara para penampil, ada seorang gadis cantik
yang mengundang begitu banyak perhatian dari orang-orang yang hadir. Saking
menariknya, sampai-sampai ayah ingin melihatnya juga.
Di malam ketujuh, hari terakhir pesta adat panen, ayah menonton gadis itu
meliuk-liuk menarikan dengan sungguh-sungguh. Terpikatlah hati ayah pada gadis
itu. Terlebih ketika gadis melemparkan pandangan ke arah penonton. Gayung pun
bersambut. Rupanya gadis juga menyukai ayah.
Dalam cerita rakyat, diceritakan setelah saling tertarik satu dengan lainnya,
keduanya menemui para sesepuh desa untuk meminta restu. Juga tak lupa anak-anak
ayah. Semua orang yang dimintai restu, sepakat dengan rencana ayah untuk
menikah lagi. Lagipula, terlihat binar-binar mata ayah saat bersama dengan
gadis. Pesta pernikahan pun digelar secara besar. Seselesai pesta pernikahan,
berakhir pula kemuraman keluarga tersebut. Perlahan tapi pasti, mereka
membangun kembali semua yang terbengkalai.
Namun, ternyata istri baru ayah sangat jahat kepada anak-anak. Dia selalu
memberi anak-anak makanan sisa dari ayah. Puncak kejahatannya ini terjadi saat
anak-anak disuruh untuk mencari kayu bakar di hutan tiga kali lebih banyak dari
hari sebelumnya. Tentu hal ini memberatkan. Karena diancam akan diadukan kepada
ayah, mereka menuruti saja perintah itu.
Ketika mencari kayu bakar di hutan, anak-anak tersesat tidak tahu jalan pulang.
Mereka baru bisa pulang kala sore hari. Sesampainya di rumah, anak-anak lebih
kaget lagi mengetahui rumah dalam keadaan kosong. Bukan itu saja, ayah dan ibu
tirinya pun tak ada. Begitu pula perabotan. Alhasil, mereka menangis
sejadi-jadinya.
Keesokan hari, mereka menukarkan kayu bakar kepada para tetangga dengan bekal
makanan. Anak-anak berusaha mencari di mana ayah serta ibu tiri mereka.
Perjalanan dua hari dua malam sudah mereka tempuh, namun belum ditemukan juga
tanda-tanda keberadaan ayah. Hal ini membuat anak-anak patah arang. Bekal habis
dan capek, membuat semangat mereka kendur. Beruntung mereka melihat sebuah
pondokan yang ada asapnya. Ke sanalah mereka cepat-cepat.
Rupanya yang menempati pondokan itu adalah seorang kakek. Anak-anak segera
bertanya pada kakek. Kakek itu mengingat-ingat barang sejenak, lalu mengatakan
kalau dia melihat seorang perempuan dan seorang laki-laki pergi ke desa di
seberang sungai. Anak-anak langsung ke sana dengan meminjam perahu kakek.
Benar saja, di ujung desa di seberang sungai, anak-anak menemukan sebuah
pondokan baru dibangun. Ketika sampai di pondokan, tidak ada siapa-siapa. Yang
ada hanya perabotan rumah tangga dan peralatan. Mereka segera mengenali semua
itu adalah milik ayah. [Baca artikel lainnya dari
Anak-anak pun masuk ke dalam rumah. Di sana, mereka menemukan bubur yang masih
panas dan segera memakannya karena rasa lapar yang tak tertahankan. Awalnya
kakak yang memakannya hingga tersisa sedikit, lalu adiknya yang memakannya
sampai tandas. Tapi, karena bubur yang mereka makan masih panas, dengan cepat
suhu tubuh anak-anak naik.
Keduanya segera berlari-larian ke sana ke mari mencari air. Karena tak
menemukan di dalam rumah. Mereka berlari keluar, berharap menemukan sungai.
Semua pohon pisang yang dilewati oleh anak-anak mati kepanasan. Sesampainya di
bibir sungai, tanpa berpikir panjang lagi mereka segera melompat ke dalam
sungai.
Bersamaan dengan itu ayah dan ibu tiri datang. Mereka terkejut ada bungkusan
milik kedua anaknya. Ibu tiri pun tak kalah terkejutnya menemukan periuknya
telah kosong dan dia melihat banyak pohon pisang mati kepanasan. Ayah dan ibu
tiri pun menyusuri pohon-pohon pisang mati tersebut sampai akhirnya mereka
menemukan sungai. Dan, dua ekor hewan aneh yang menyemburkan air dari dalam
kepalanya.
Pikiran ayah segera melayang kepada serentetang kejadian yang selama ini terjadi dalam kehidupannya. Ketika tersadar, dia tidak menemukan istrinya ada di sisinya. Rupanya istrinya itu sudah menghilang secara gaib. Barulah ayah tersadar jika istrinya bukanlah berasal dari kalangan manusia. Itu kenapa istrinya tak pernah mau menceritakan asal-usulnya.
Masyarakat pun datang untuk melihat hewan aneh itu. Kemudian, menamainya sebagai ikan pasut atau pesut. Orang-orang Mahakam sendiri menyebut ikan ini adalah Bawoi.
Demikian, Legenda Indonesia tentang Pesut Mahakam ini terkenal seantero negeri dari generasi ke generasi. Dikisahkan sebagai cerita rakyat Indonesia yang menjadi kekayaan khazanah sastra lisan Indonesia.