Alkisah, saat Kota Sintang masih sepi penduduk, di daerah itu hidup sebuah
keluarga miskin. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri dan seorang
anak. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung yang sudah tua dan lapuk di tepi
sungai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari sang ayah
mencari ikan di sepanjang aliran sungai. Jika beruntung, ia terkadang
memperoleh ikan yang cukup dimakan beberapa hari bersama keluarganya. Namun
jika sedang sial, ia terkadang pulang tanpa membawa seekor ikan pun.
Suatu hari, persediaan makanan di
rumah keluarga itu telah habis. Maka, pagi-pagi sekali sang ayah pergi ke
sungai untuk mencari ikan dengan menggunakan perahu. Tak lupa ia membawa dua
buah pancing dengan harapan bahwa jika pancingnya putus ia masih mempunyai
pancing yang lain. Dengan penuh harapan, nelayan itu mendayung perahunya
menyusuri aliran sungai menuju ke arah hulu. Setiba di sebuah lubuk yang dalam,
ia pun mulai mengulur salah satu pancingnya yang telah diberi umpan ke dalam
air.
“Semoga hari ini aku bisa memperoleh
ikan yang banyak,” gumamnya sambil menunggu pancingnya ditarik ikan.
Setelah beberapa waktu nelayan itu
menunggu, belum seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Melihat keadaan itu,
ia sesekali mengangkat pancingnya untuk memeriksa apakah umpannya masih ada dan
ternyata masih tetap utuh. Karena bertekad keras ingin membawa pulang ikan
untuk keluarganya di rumah, nelayan itu tidak mau putus asa. Ia tetap
bersemangat menunggu pancingnya ditarik ikan. Hingga hari menjelang siang,
nelayan itu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Berkali-kali ia berpindah
tempat untuk mencari lubuk yang lebih dalam, namun hasilnya tetap nihil.
“Ah, barangkali ikan di sekitar lubuk
ini sudah berkurang,” gumamnya, “Sebaiknya aku mencari lubuk yang lebih dalam
lagi saja.”
Dengan penuh semangat, nelayan itu
mengayuh perahunya menuju ke hulu sungai hingga menemukan sebuah teluk kecil.
Tempat itu cukup bagus karena terdapat banyak bebatuan berlumut dan di
sekitarnya banyak pepohonan rindang yang menjorok ke sungai.
“Wah, tempat ini pasti banyak
ikannya,” gumamnya.
Setelah mengganti umpannya yang lebih
baru, nelayan itu segera melemparkan pancingnya ke dalam air yang dalam. Ia
dengan penuh harapan terus menunggu pancingnya di atas perahu sambil
bersiul-siul dan sesekali menarik tali pancingnya. Namun hingga hari menjelang
sore, tak seekor ikan pun yang menarik pancingnya.
“Aduuuhhh, sial benar hari ini. Sudah
berkali-kali aku berpindah tempat, tapi belum juga memperoleh seekor ikan pun,”
keluh nelayan itu, “Wah, nanti keluargaku akan makan apa?”
Nelayan itu mulai bingung. Ia masih
ingin berusaha memperoleh ikan untuk keluarganya, sementara hari sudah semakin
sore. Di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba ia merasa pancingnya
ditarik-tarik. Ia pun langsung tersentak kaget dan berusaha menarik pancingnya.
Namun semakin kuat ia menariknya, pancing itu justru terseret hingga ke tengah
sungai. Maka ia dengan cepat mengulur tali pancingnya. Kali ini ia tidak mau
kehilangan satu-satunya ikan yang terkena pancingnya. Ia terus mengulur tali
pancingnya hingga tak terasa tali pancing itu habis terulur. Karena ikan itu
terus menariknya, sang nelayan pun mendayung perahunya mengikuti tarikan itu
hingga ke tengah sungai yang paling dalam.
Hari sudah semakin gelap, namun
nelayan itu belum juga dapat menarik pancingnya. Untung pada saat itu rembulan
malam memancarkan cahayanya sehingga ia masih dapat melihat arah tarikan ikan
itu. Begitu tarikan itu mulai lemah, nelayan itu dengan cepat menyentakkan
pancingnya ke atas. Betapa kecewanya ia karena harapannya ikan besar yang
tersangkut di ujung tali pancingnya namun ternyata hanya seutas tali kawat.
Dengan perasaan kecewa, nelayan itu melemparkan kembali ujung tali pancingnya
ke dalam air.
“Aku benar-benar sial hari ini,” guman
nelayan itu dengan nada kecewa.
Akhirnya, nelayan itu memutuskan untuk
menghentikan pemancingannya. Ia pun menggulung tali pancingnya untuk bergegas
kembali ke rumah walaupun dengan tangan hampa. Alangkah terkejutnya ia setelah
menggulung tali pancingnya sampai ke ujung. Ia melihat tali kawat yang masih
tersangkut di ujung tali pancing itu memancarkan cahaya berwarna kuning
keemasan diterpa sinar rembulan.
“Hai, apakah aku tidak salah lihat?
Bukankah ini kawat emas?” gumamnya dengan terkejut.
Mulanya nelayan itu tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Namun, setelah diamati secara seksama, ternyata
dugaannya benar bahwa tali kawat itu terbuat dari emas. Wajahnya yang tadi
cemberut tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri karena gembira.
“Aku akan kaya... aku akan kaya
raya...!” teriak nelayan itu kegirangan.
Dengan penuh semangat, ia segera
menarik kawat emas itu naik ke perahunya. Meskipun ia sudah mendapat beberapa
meter, ia tetap terus menarik kawat emas itu. Sementara itu, kawat emas yang
ditariknya itu seperti tidak ada habisnya. Semakin dia tarik, kawat emas itu
tetap saja ada sambungannya.
“Panjang sekali kawat emas ini,”
gumamnya dengan heran, “Waaah... Aku akan menjadi orang terkaya di negeri ini.”
Hati nelayan itu benar-benar telah
teracuni oleh sifat serakah. Padahal, jika seandainya ia mengambil beberapa
meter saja dari kawat emas itu, hidupnya sudah jauh lebih baik dibandingkan
sebelumnya. Namun, sifat serakah yang terus menjalar di hatinya membuat nelayan
itu tidak merasa puas dengan apa yang telah didapatkan. Ia terus menerus
menarik kawat emas itu hingga perahunya penuh dengan gulungan kawat emas. Pada
saat itulah, tiba-tiba terdengar suara dari dalam air yang menegurnya.
“Sudah... Potong saja kawat emasnya di
situ!” demikian suara teguran itu.
Nelayan itu tidak menghiraukan suara
teguran tersebut. Ia tetap asyik menarik kawat emas itu naik ke perahunya.
Beberapa saat kemudian, suara misterius kembali menegurnya.
“Hentikan...! Hentikan...! Kamu akan
celaka,” ujar suara itu.
Berkali-kali suara itu menasehatinya,
namun nelayan yang serakah itu masih saja tidak menghiraukannya. Tanpa diduga,
perahu yang ditumpanginya tiba-tiba oleng karena tidak kuat lagi menahan beban
berat gulungan kawat emas itu. Pada saat itulah ia baru menyadari keserakahannya.
Ia pun berhenti menarik kawat emas itu dan berusaha untuk menyelamatkan diri.
Namun, usaha itu sudah terlambat. Air sudah masuk ke dalam perahunya hingga
penuh. Akhirnya, ia pun tenggelam ke dasar sungai bersama perahu dan kawat
emasnya. Nelayan yang serakah itu pun menemui ajalnya. Sejak peristiwa itu,
masyarakat setempat menyebut sungai tempat tenggelamnya nelayan itu dengan nama
Sungai Kawat. Hingga saat ini, Sungai Kawat yang merupakan salah satu anak atau
cabang dari Sungai Kapuas ini masih dapat kita saksikan di daerah Kota Sintang,
Kalimantan Barat.