Minakjingga adalah Adipati Blambangan
yang memiliki kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk memberontak
pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang cantik
jelita bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu kemudian mengadakan sayembara
untuk menangkal ancaman dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta sayembara
ini adalah seorang pemuda bernama Damarwulan. Berhasilkah Damarwulan
mengalahkan Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan dan
Minakjingga berikut ini.
Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan, Jawa Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali, bernama Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet
ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu. Meskipun hanya
seorang raja taklukan, namun sepak terjang Adipati Kebo Marcuet yang
terus-menerus merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana
Wungu cemas. Ratu Majapahit itu pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo
Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan
Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati Blambangan dan
kujadikan sebagai suami,” demikian maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan
di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan
orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet. Hingga
datanglah seorang pemuda tampan dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal
dari Pasuruan. Ia adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang merupakan guru sekaligus
ayah angkat Adipati Kebo Marcuet. Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui kelemahan
Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi kuning (gada
yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa yang
sakti bernama Dayun, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira
dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan Jaka Umbaran menjadi
Adipati Blambangan dengan gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan.
Akibat pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah Jaka Umbaran yang semula
rupawan menjadi rusak, kakinya pincang, dan badannya menjadi bongkok.
Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap
bersikeras menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar Ratu Ayu Kencana
Wungu meskipun pada saat itu ia telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita
dan Dewi Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu
tetap tidak sudi menikah dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga
murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Untuk melampiaskan
kemarahannya, Minakjingga merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai
ke Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun berniat untuk menyerang
Majapahit. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa
Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia pun kembali menggelar
sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil
membinasakan Minakjingga akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana Wungu
di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut
serta dalam sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang berhasil
mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini membuat sang Ratu semakin cemas.
Saat kekhawatiran sang Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda tampan
bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih Udara, patih Majapahit yang sedang pergi
bertapa. Saat itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda milik Patih
Logender, seorang patih Majapahit yang ditunjuk untuk menggantikan kedudukan
ayah Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan
menyampaikan keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika
diperkenankan, izinkanlah hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah
kepala Minakjingga ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya
berpamitan.
Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan
untuk menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani,
lawanlah aku!” seru Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga,
“Berani-beraninya menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku
Damarwulan yang diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk membinasakanmu,” jawab
Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa
terbahak-bahak, “Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu tidak akan mampu
menghadapi kesaktian senjata pusakaku, gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar
sakti itu pun terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun, akhirnya
Damarwulan kalah dalam pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada
wesi kuning milik Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi
Wahita dan Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan Damarwulan. Mereka pun
secara diam-diam mengobati luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka rahasia
kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada
wesi kuning. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,” kata
Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan
Minakjingga, Anda harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut
senjata pusaka itu?” tanya Damarwulan.
“Kami akan membantumu mendapatkan
senjata itu,” janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan
Dewi Puyengan mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga terlelap.
Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada Damarwulan. Setelah memiliki senjata
itu, Damarwulan pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung. Alangkah
terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa
mendapatkan senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera
menyerang Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada di
tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan perlawanan sehingga dapat dengan
mudah dikalahkan. Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata pusakanya
sendiri. Damarwulan memenggal kepada Minakjingga untuk dipersembahkan kepada
Ratu Ayu Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit,
Damarwulan dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua orang yang
bersaudara itu adalah putra Patih Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti
Damarwulan ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan berhasil mengalahkan
Minakjingga, mereka hendak merebut kepala Minakjingga agar diakui sebagai
pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala
Minakjingga itu kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak
permintaan itu. Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan Layang Kumitir
mengeroyok Damarwulan dan berhasil merebut kepala Minakjingga. Kepala itu
kemudian mereka bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak mempersembahkan
kepala itu kepada sang Ratu, tiba-tiba Damarwulan datang dan segera
menyampaikan kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil
menjalankan tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba Layang Seta
dan Layang Kumitir menghadang hamba dan merebut kepala itu dari tangan hamba,”
lapor Damarwulan.
“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan
itu bohong belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala Minakjingga,” sanggah
Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun
semakin memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah memenggal kepala
Minakjingga. Ratu Ayu Kencana Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
menenentukan siapa di antara mereka yang benar. Maka, sebagai jalan keluarnya,
penguasa Majapahit itu meminta kedua belah pihak untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah
bertengkar lagi!” ujar Ratu Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi pemenangnya pastilah ia yang
telah membinasakan Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali
ini, Damarwulan lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih Logender itu.
Ia harus membuktikan kepada sang Ratu bahwa dirinyalah yang benar. Demikian
pula Layang Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin kebohongan mereka
terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan
seluruh rakyat Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat seru. Kedua
belah pihak mengeluarkan seluruh kekuatan masing-masing demi memenangkan
pertandingan. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Damarwulan. Layang Seta
dan Layang Kumitir pun mengakui kesalahan mereka dan dimasukkan ke penjara,
sedangkan Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu.
Demikian cerita Damarwulan dan
Minakjingga dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang menjadi
cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas dari itu, cerita ini juga
dikisahkan dalam bentuk sastra seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan,
Serat Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang Damarwulan dan Minakjingga
juga menjadi tema pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa Timur.
Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga ini telah diangkat dalam film layar
lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar