Alkisah, sekitar abad ke-19
Masehi, kawasan pelabuhan Batavia Lama atau kini dikenal dengan pelabuhan
Tanjung Priok merupakan salah satu pusat keramaian di daerah Jakarta Utara.
Setiap hari kapal-kapal pedagang dari dalam maupun luar daerah silih berganti
berlabuh di pelabuhan tersebut untuk melakukan bongkar muat berbagai jenis barang
dagangan seperti hasil bumi, barang pecah belah, kain sutra, dan sebagainya.
Barang-barang dagangan tersebut kemudian disimpan di dalam gudang-gudang yang
ada di kawasan pelabuhan Tanjung Priok.
Pada
masa itu, pusat-pusat keramaian di Jakara Utara dikuasai oleh jagoan-jagoan
silat. Pelabuhan Tanjung Priok sebagai salah satu pusat keramaian di daerah itu
kebetulan dikuasai oleh seorang jagoan bernama Angkri dan dua orang pembantunya
yaitu Bai dan Madun. Ke mana pun pergi, Angkri selalu mengenakan pakaian
hitam-hitam, ikat kepala, gelang akar bahar di kedua lengannya, dan beberapa
cincin batu akik yang besar bertengger di jari-jari tangannya. Selain itu, di
pinggang Angkri dan anak buahnya juga selalu terselip golok yang amat tajam.
Tidak mengherankan jika mereka amat ditakuti oleh penduduk sekitar, terutama
mereka yang tinggal di sekitar pasar ikan.
Pada suatu siang, sebuah kapal
besar sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal besar itu membawa
barang dagangan berupa pecah belah dan kain sutra. Barang-barang dagangan
tersebut diturunkan dari kapal dan kemudian disimpan di dalam gudang milik
seorang opsinder Bloomekomp. Mengetahui hal itu, Angkri
bersama kedua anak buahnya segera menyusun siasat secara diam-diam. Mereka
bermaksud mencuri barang-barang dagangan tersebut. Sambil menunggu malam larut,
mereka bermain kartu tidak jauh dari gudang yang akan menjadi sasarannya.
Ketika suasana di sekitar gudang
mulai sepi, Angkri dan kedua anak buahnya segera bertindak. Dengan penuh
kehati-hatian, mereka menjebol kunci pintu gudang itu dan menyelinap masuk ke
dalam gudang. Bai dan Madun dengan cepat memasukkan sejumlah barang-barang
pecah belah dan kain sutra ke dalam wadah yang mereka bawa. Sementara itu,
Angkri berjaga-jaga di dekat pintu sambil mengawasi kalau-kalau ada orang yang
memergoki mereka.
Setelah wadah mereka penuh dengan
barang-barang berharga tersebut, Angkri dan kedua anak buahnya segera
meninggalkan gudang itu. Mereka menyusuri lorong-lorong di sekitar rumah
penduduk menuju ke arah barat Kota Intan.
Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali opsinder Bloomekomp hendak mengecek
barang-barang dagangannya ke dalam gudang. Alangkah terkejutnya ia saat melihat
kunci pintu gudangnya telah dirusak orang.
“Hai, siapa yang telah merusak
pintu gudangku?” gumamnya dengan perasaan cemas.
Begitu masuk ke dalam gudang, opsinder Bloomekomp menjadi marah
dan geram karena sebagian barang dagangannya hilang. Ia pun segera melapor
kepada kepala opas yang berjaga di kawasan
pelabuhan tersebut. Mendengar laporan tersebut, kepala opas bersama anak buahnya segera
melakukan penyelidikan. Dalam waktu tidak beberapa lama, mereka pun dapat
mengetahui bahwa pelaku pencurian itu adalah Angkri dan kedua anak buahnya.
Kepala opas kemudian menghubungi Bek Kasan (kepala kampung Kasan) dan
tiga orang anggota keamanan untuk mencari tahu keberadaan ketiga pencuri
tersebut.
“Apakah kalian tahu ke mana
biasanya Angkri dan kawan-kawannya pergi?” tanya kepala opas kepada ketiga anggota keamanan
tersebut.
“Saya tahu, Pak,” sahut salah
seorang anggota keamanan, “Kalau bukan ke Pasar Ikan, mereka biasanya ke
Kampung Kapal Rusak.”
Mendengar keterangan itu, kepala opas, Bek
Kasan serta ketiga anggota keamanan tersebut segera mencari Angkri dan
kawan-kawannya di kedua tempat tersebut. Namun, Angkri dan kawan-kawannya tidak
mereka temukan.
“Ke mana lagi kita harus mencari
mereka?” tanya kepala opas bingung.
Bek
Kasan dan ketiga anggota keamanan itu hanya diam karena mereka juga bingung.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari keterangan kepada warga sekitar dan
usaha itu pun membuahkan hasil. Menurut keterangan beberapa warga bahwa Angkri
dan kawan-kawannya sedang berada di sebelah barat Kota Intan, dekat laut menuju
ke Kamal.
“Wah, mereka pasti akan pergi ke
Kamal membawa barang-barang curian itu,” celetuk kepala opas.
“Kalau begitu, sebaiknya kita
langsung saja ke sana sebelum mereka meninggalkan Kota Intan,” ujar Bek Kasan.
Meskipun hari sudah mulai gelap,
kepala opas dan rombongannya terus
melakukan pengejaran untuk menangkap Angkri dan kawan-kawannya. Sementara itu,
Angkri dan kedua anak buahnya sedang memasuki rumah teman lama mereka yang
bernama Pak Ocin. Kebetulan pada saat itu, Kasun bersama istrinya Mujenah
sedang bertamu di rumah itu. Kasun adalah teman lama mereka juga. Angkri
bermaksud menitipkan barang-barang curiannya kepada Pak Ocin.
“Hai, Ocin!” seru Angkri, “Saya
mau titip barang ini di rumahmu. Besok pagi saya akan kembali mengambilnya.
Saya mau mencari kapal dulu.”
Mengetahui bungkusan yang dibawa
oleh kedua anak buah Angkri itu berisi barang-barang curian, Pak Ocin menolak
untuk dititipi bungkusan tersebut.
“Tidak bisa, Kri,” jawab Pak
Ocin.
“Apa katamu, Cin?” gertak Angkri.
Bai dan Madun pun mulai jengkel
melihat sikap Pak Ocin. Karena itu, keduanya bermaksud mencabut golok mereka
yang terselip di pinggang untuk menghajar Pak Ocin.
“Sabar, Dun! Sabar, Bai! Jangan
kalian lakukan itu. Bukankah kita semua adalah teman lama,” ujar Kasun untuk
menenangkan mereka.
Baru saja kata-kata itu keluar
dari mulut Kasun, tiba-tiba sebuah tamparan keras dari Angkri mendarat di
pelipis kanannya.
“Rasakanlah itu bagianmu, Sun!”
seru Angkrik.
Merasa dilecehkan Kasun langsung
naik pitam sehingga perkelahian pun tidak terelakkan. Dengan segala kemampuan
yang dimiliki, Kasun berupaya untuk menghadapi Angkri dan kedua anak buahnya.
Melihat perkelahian itu, istri Kasan berteriak meminta tolong. Para tetangga
yang mendengar teriakan itu, tidak berani datang menolong karena mereka sudah
tahu siapa pembuat keributan tersebut. Mereka lebih baik pura-pura tidak
mengetahui peristiwa itu daripada memberi pertolongan. Salah-salah merekalah
bisa kena bacokan golok tajam si Angkri.
Sementara itu, perkelahian antara
Kasun dengan Angkri dan anak buahnya masih berlangsung seru. Namun, karena
dikeroyok oleh tiga orang jagoan silat, Kasun akhirnya roboh dan mukanya babak
belur sehingga tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan. Angkri dan anak buahnya
pun bergegas meninggalkan rumah Pak Ocin dengan membawa barang-barang curian
mereka.
Tak berapa lama setelah peristiwa
itu, kepala opas dan rombongannya pun tiba di
rumah Pak Ocin.
“Hai, Kasun. Siapa yang membuat
wajahmu babak belur begitu?” tanya Bek Kasan heran.
“Angkri dan anak buahnya, Bek Kasan,” sahut Pak Ocin.
“Di mana mereka sekarang?” tanya
kepala opas sudah tidak sabar ingin
menghajar mereka.
“Mereka baru saja pergi.
Kira-kira lima menit yang lalu,” jawab Pak Ocin.
“Baiklah, kalau begitu,” kata
kepala opas, “Pak Ocin, tolong kamu obati
luka Pak Kasun! Kami akan mengejar mereka.”
Tidak begitu sulit kepala opas dan rombongannya menemukan
mereka karena Angkri dan anak buahnya sedang membawa bungkusan yang cukup
berat.
“Hai kalian, berhenti!” teriak
kepala opas saat melihat Angkri dan anak
buahnya.
Angkri dan anak buahnya berusaha
mempercepat larinya, namun rombongan kepala opas telah
mencegatnya. Kepala opas dan tiga
orang anggota keamanan segera meringkus Bai dan Madun yang sudah tidak berdaya
karena kelelahan. Sementara itu, Bek Kasan
menantang Angkri untuk berkelahi. Angkri pun menerima tantangan itu.
“Hai, Bek
Kasan. Ilmu silatmu tidak ada apa-apanya dengan ilmu silatku. Majulah kalau
memang kamu berani menantangku!” seru Angkri dengan angkuhnya.
Pertarungan sengit pun tak
terelakkan. Mulanya pertarungan itu berlangsung dengan tangan kosong. Namun,
ketika mulai kewalahan menghindari serangan Bek Kasan yang
datang bertubi-tubi, Angkri segera mencabut goloknya. Begitu ia hendak
mengayunkan goloknya, tiba-tiba sebuah tendangan keras dari Bek Kasan mengenai tangannya. Golok
yang ada di genggamannya pun terpental. Akhirnya, Angkri terpaksa kembali
menggunakan tangan kosong sambil mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya. Dengan
jurus pamungkas itu, ia berhasil mengenai tubuh Bek
Kasan hingga jatuh terletang di atas sebuah batu besar. Angkri pun tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat, ia meloncat dan menghunjamkan
kedua lututnya ke arah perut Bek Kasan. Tanpa
diduga, ternyata Bek Kasan lebih
cepat menggulingkan badannya ke arah kanan sehingga kedua lutut Angkri
menghunjam batu besar itu. Tak ayal, kedua lututnya patah sehingga tidak mampu
lagi berdiri.
Melihat Angkri tidak berdaya, Bek Kasan segera memegang kepala
dan menarik rambut musuhnya itu dari belakang.
“Ampun…! Ampun…, Bek Kasan! Saya mengaku kalah,”
teriak Angkri memohon ampun.
Akhirnya, Angkri si jagoan dari
Tanjung Priok itu menyerah. Ia kemudian diborgol dan dibawa ke kantor opas di di Kota Intan untuk
selanjutnya disidang. Berdasarkan keputusan hakim, Angkri dan kedua anak
buahnya dihukum atas tuduhan mencuri barang milik opsinder
Bloomekomp. Bai dan Madun dihukum penjara beberapa tahun, sedangkan Angkri
sebagai kepala perampok mendapat hukuman gantung. Sejak itu, kawasan pelabuhan
Tanjung Priok menjadi aman. Para pedagang maupun nelayan dapat melaksanakan
pekerjaan sehari-hari mereka tanpa dihantui perasaan takut mendapat gangguan
dari Angkri dan anak buahnya.
Demikian cerita Angkri, Jagoan Tanjung Priok yang Angkuh
dari DKI Jakarta. Pesan moral yang dipetik dari cerita di atas adalah orang
yang angkuh karena ketinggian ilmunya pada akhirnya binasa juga. Demikian pula
Angkri yang angkuh karena merasa ilmunya paling sakti pada akhirnya menyerah
menghadapi Bek Kasan. Akibat perbuatannya, ia
pun dijatuhi hukuman gantung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar