Barito Kuala adalah salah kabupaten
di Propinsi Kalimantan Selatan. Di daerah ini terdapat beberapa pulau yang
terletak di tengah-tengah Sungai Barito yang membelah Kabupaten Barito Kuala.
Pulau tersebut pada awalnya berupa delta yang kemudian disebut oleh masyarakat
di sekitarnya sebagai pulau. Salah
satu pulau atau delta yang sangat terkenal di daerah itu adalah Pulau Kambang. Pulau ini
terletak di sebelah barat kota Banjarmasin, tepatnya di Kecamatan Alalak. Oleh
pemerintah Indonesia, dalam hal ini Dinas Pertanian, Pulau Kambang ditetapkan
sebagai pulau wisata pada tahun 1976. Sebagai objek wisata, Pulau ini sangat
ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah.
Konon,
pada zaman dahulu kala, di Muara Sungai Barito berdiri sebuah kerajaan yang
bernama Kerajaan Kuin. Letaknya yang strategis menjadikan kerajaan tersebut
sangat ramai dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negeri. Selain letaknya
yang strategis, kerajaan ini mempunyai seorang patih yang sangat sakti, berani
dan gagah perkasa. Namanya Datu Pujung. Ia merupakan andalan dan benteng
pertahanan Kerajaan Kuin untuk menghalau segala ancaman yang datang dari luar.
Suatu hari, sebuah jung besar
berasal dari negeri Cina berlabuh di Sungai Barito. Meskipun di dalam jung itu
terlihat kesibukan yang luar biasa, tidak seorang penduduk negeri yang
mengetahui apa sebenarnya yang mereka kerjakan dalam jung itu. Penduduk negeri
juga tidak tahu maksud kedatangan mereka. Layaknya tamu, semestinya mereka
mengirim utusan menghadap kepada penguasa negeri. Lama ditunggu, tak seorang
pun yang keluar dari jung itu untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Sikap yang demikian itu membuat penguasa negeri menjadi lebih berhati-hati.
Seluruh pengawal pelabuhan dipersiapkan untuk berjaga-jaga menghadapi segala
kemungkinan.
Keesokan harinya, sebuah perahu yang
sarat serdadu berseragam dan bersenjata lengkap merapat di tepian sungai.
Seorang di antaranya melompat ke darat sambil menambatkan seutas tali di kayu
ulin yang sengaja dijadikan titian. “Wahai, anak negeri! Sebelum pertumpahan
darah terjadi, kalian semua disarankan untuk menyerah. Jika tidak, negeri ini
akan kami musnahkan. Siapapun yang berani melawan akan kami bunuh, dan yang
tidak melawan kami jadikan sebagai budak tawanan!” ujar seorang utusan. Datu
Pujung menjawab ancaman itu dengan kata-kata yang halus, “Musuh bagi kami tidak
dicari. Bila datang, pantang bagi kami untuk menghindarinya.” Lalu, Datu Pujung
balik bertanya, “Apakah kalian mampu mengalahkan kami?” Ucapan Datu Pujung
membuat utusan itu geram. “Hai, orang tua! Berani sekali kamu berkata begitu.
Apakah kamu minta bukti keperkasaan kami?” balas utusan itu. “Ya, begitulah,”
jawab Datu Pujung dengan penuh wibawa.
“Hai, prajurit! Kepung dan tangkap
mereka!” perintah sang Kepala Utusan. Namun, sebelum serdadu-serdadu tersebut
bergerak, Datu Pujung melompat ke arah sang Kepala Utusan dan menorehkan
sebilah pisau ke leher orang yang mengancam tadi. “Tidak bijaksana. Sama sekali
tidak bijaksana. Sama dengan tidak bijaksananya pisauku ini. Ia akan menoreh
dan membuat lehermu berlubang bila anak buahmu meneruskan langkahnya,” gertak
Datu Pujung sambil menggores-goreskan pisaunya di leher sang Kepala Utusan.
Melihat keselamatan pemimpinnya
terancam, para serdadu mengurungkan niatnya. Mereka tidak berani bergerak
sedikit pun. Datu Pujung mundur selangkah. Sambil berbalik ia menawarkan sebuah
taruhan. “Hai, Kepala Utusan! Di antara kita tidak perlu ada pertumpahan
darah jika tawaranku ini kamu terima secara kesatria!” ujar Datu Pujung.
“Apa itu?” balas si Kepala Utusan
penasaran. “Tariklah pohon ulin yang kalian jadikan titian itu sampai ke sini.
Dengan senjata yang kalian miliki, penggal pohon itu menjadi dua potong. Jika
kalian sanggup melakukannya, seluruh daerah ini akan menjadi milik kalian. Tapi
sebaliknya, jika tidak mampu, dengan penuh hormat kami persilahkan kalian
meninggalkan daerah ini sebelum kami berubah pikiran,” ancam Datu Pujung sambil
menunjuk tebangan pohon ulin sebesar drum yang panjangnya tidak kurang dari
sembilan depa.
“Tawaranmu kami terima, orang tua!”
sambut Kepala Utusan dengan jumawa. “Kalau begitu. Bersiaplah untuk
menarik kayu ulin itu,” ujar Datu Pujung. Mendengar ujaran itu, si Kepala
Utusan terdiam. Sepertinya ia mulai ragu pada kemampuannya. Bagaimana mungkin
ia bisa mengangkat kayu sebesar drum dan panjang itu. Datu Pujung sudah tidak
sabar menunggu si Kepala Utusan melaksanakan kesanggupannya. “Tunggu apalagi,
Kepala Utusan?” desak Datu Pujung. Perlahan-lahan si Kepala Utusan mencoba
untuk mengangkat pohon ulin itu, namun tidak bergerak sedikit pun. Melihat
ketidakmampuan komandannya, seluruh anggota pasukan ikut membantu menarik
tebangan pohon ulin. Tapi, usaha mereka tetap saja sia-sia. Jangankan pohon
ulin itu bergeser, bergerak pun tidak. Kemudian senjata mereka mereka tebaskan
ke batang tersebut, tetapi jangankan pohon itu terbelah, tebasan mereka
membekas pun tidak padanya.
Datu Pujung hanya tersenyum melihat
tingkah mereka. Sambil mengawasi gerak-gerik lawannya, ia pun segera mendekati
pohon itu. Dengan sebelah tangannya, ia menarik kayu ulin itu. Sebilah parang
bungkulnya yang terhunus kemudian menebas kayu ulin itu hingga terpotong
menjadi dua. Salah satu potongan sengaja ia lemparkan ke arah seluruh pasukan
tersebut. Mereka pun lari terbirit-birit ke arah perahu. “Tunggu pembalasan
kami sebentar lagi!” ujar mereka mengumbar ancaman. Perahu mereka dayung dengan
sekuat tenaga menuju ke jung di tengah sungai.
Datu Pujung tidak menghiraukan
ancaman itu. Dengan potongan kayu ulin yang lain, Datu Pujung meluncur ke
sungai mengejar mereka. Dalam kejar-kejaran tersebut, Datu Pujung berhasil
mendahului mereka tiba di atas jung. Pasukan naik di bagian depan jung,
sedangkan Datu Pujung naik di buritan. “Kalian semua memang tidak bisa diberi
hati!”, seru Datu Pujung penuh amarah. Ia mengambil pisau kecil dari balik
bajunya, lalu mencungkil lambung jung itu. Dalam sekejap, air pun menggenangi
jung. Sebuah hentakan kaki Datu Pujung membuat perahu bocor. Air memenuhi
seluruh jung hingga tenggelam. Seluruh pasukan dan isi jung pun ikut tenggelam.
Sejak itu, endapan lumpur dan
batang-batang kayu yang hanyut di Sungai Barito selanjutnya menimbun jung itu
hingga membentuk delta atau pulau.
Dari cerita di atas diketahui bahwa
penumpang jung yang tewas dalam peristiwa itu adalah kebanyakan keturuan
Tionghoa. Oleh karena itu, untuk mengenang arwah-arwah mereka, banyak keturunan
Tionghoa yang datang berziarah ke pulau itu dengan membawa kambang.
Karena kegiatan ini berlangsung sepanjang waktu, maka terjadilah tumpukan
kambang yang sangat banyak. Orang-orang
yang melintasi pulau itu sering melihat dan menyaksikan tumpukan kambang
tersebut. Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang melintasi tempat
ini dan menjadi penanda, maka pulau itu pun dijuluki sebagai Pulau Kambang.
Lambat-laun, nama Pulau Kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang
dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang mengeramatkannya dan ada
pula yang sekadar ingin tahu keberadaan Pulau Kambang yang telah melegenda itu.
Hingga kini, pulau ini masih ramai dengan pengunjung yang mempunyai hajat
tertentu, berbaur dengan para wisatawan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar