Alkisah, di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara, hidup seorang pemuda
tampan bernama Oheo. Ia tinggal sendirian di sebuah gubuk di tengah hutan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menanam pohon tebu di kebunnya. Oheo
seorang petani yang rajin dan tekun. Setiap hari ia merawat tanaman tebunya
dengan baik.
Pada suatu waktu, ketika tanaman
tebunya sudah siap dipanen, Oheo berjalan-jalan mengelilingi kebunnya. Alangkah
terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak ampas tebu yang berhamburan di pinggir
kebunnya dekat sungai. Melihat keadaan itu, Oheo menjadi kesal dan marah. Ia
pun berniat untuk menangkap pelakunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Oheo berangkat ke kebunnya. Sesampainya di kebun, ia segera menuju ke tepi
sungai. Saat akan sampai di tepi sungai, tiba-tiba langkahnya terhenti. Tidak
jauh dari tempat ia berdiri, ada tujuh bidadari cantik sedang terbang
berputar-putar di atas sungai. Melihat hal itu, ia segera bersembunyi di balik
sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu ia terus memerhatikan gelagat ketujuh
bidadari tersebut.
“Aduhai... cantiknya
bidadari-bidadari itu!” ucap Oheo dengan penuh takjub.
Beberapa saat kemudian, ketujuh
bidadari tersebut turun dan berdiri di tepi sungai. Kemudian mereka berjalan
menuju ke kebun tebu Oheo. Tidak berapa lama, mereka pun kembali ke tepi sungai
sambil membawa batang tebu. Di tepi sungai itu, mereka asyik menikmati manisnya
air tebu milik Oheo. Setelah itu mereka membuang ampas tebu tersebut dan
membiarkannya berserakan di tepi sungai. Usai makan tebu, mereka mencebur ke
sungai untuk mandi. Melihat kejadian itu, maka tahulah Oheo bahwa ternyata yang
memakan tanaman tebunya adalah para bidadari tersebut.
Pada mulanya, Oheo sangat kesal dan
marah. Namun, setelah mengetahui bahwa pelakunya adalah bidadari cantik, hatinya
tiba-tiba berubah menjadi senang dan gembira. Bahkan ia berniat untuk
memperistri salah seorang dari mereka.
Ketika para bidadari tersebut sedang
asyik mandi sambil bersendau gurau, Oheo merayap menuju ke tempat pakaian para
bidadari tersebut diletakkan. Dengan hati-hati, Oheo mengambil sehelai
selendang dengan menggunakan ranting kayu. Setelah berhasil mengambil selendang
yang berwarna ungu, ia segera membawanya pulang ke rumah dan menyembunyikannya
di dalam ujung kasau bambu dekat jendela. Setelah itu, ia kembali ke tempat
persembunyiannya untuk mengintip para bidadari yang sedang mandi.
Saat hari menjelang sore, ketujuh
bidadari tersebut selesai mandi. Mereka pun bergegas mengenakan pakaian
masing-masing lalu terbang ke angkasa menuju ke kayangan. Namun, salah seorang
dari mereka tidak dapat terbang karena selendangnya hilang. Dia adalah putri
(bidadari) bungsu yang bernama Anawangguluri. Ia sudah mencari selendangnya ke
sana kemari, namun tetap tidak menemukannya. Akhirnya, tinggalah ia seorang diri
di tepi sungai itu.
Tidak lama kemudian, Oheo keluar
dari tempat persembunyiannya, lalu menghampiri Putri Anawangguluri.
“Hai putri cantik! Aku Oheo. Aku
tinggal di sekitar daerah ini,” sapa Oheo memperkenalkan diri.
“O iya, kamu siapa?” tanya Oheo.
“Aku Anawangguluri dari negeri
Kahyangan. Penduduk Kahyangan memanggilku Anawai,” jawab gadis cantik itu.
“Kenapa kamu berada sendirian di
sini?” tanya Oheo.
“Tadinya aku bersama keenam
saudariku mandi di sungai ini. Namun, mereka meninggalkanku seorang diri di
sini, karena aku tidak dapat terbang kembali menuju ke Kahyangan. Pada saat
kami sedang asyik mandi, selendangku tiba-tiba hilang. Apakah engkau
melihatnya, Oheo?” putri balik bertanya kepada Oheo.
“Tidak, Putri,” jawab Oheo.
Mendengar jawab itu, Putri Anawai
bertambah sedih, karena semakin tidak mempunyai harapan untuk bisa kembali ke
Kahyangan. Sementara ia sendiri tidak memiliki siapa-siapa di bumi.
“Maukah kamu menolongku, Oheo?”
tanya Putri Anawai mengiba kepada Oheo.
“Apakah itu, Putri? Katakanlah!”
seru Oheo.
“Bolehkah aku tinggal di rumahmu
untuk sementara waktu? Jika aku sudah menemukan selendangku, aku akan kembali
lagi ke Kahyangan,” pinta sang Putri.
“Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi
dengan syarat kamu mau menikah denganku,” jawab Oheo.
Sebenarnya permintaan Oheo itu
sangatlah berat bagi Putri Anawai. Sebab, jika ia menikah dengan Oheo,
tentu ia akan semakin jauh dari orangtua dan saudari-saudarinya yang tinggal di
Kahyangan. Namun karena tidak ada pilihan lain, ia pun menerima permintaan Oheo.
Sebelum mereka menikah, Putri Anawai juga mengajukan sebuah permintaan kepada
Oheo.
“Jika di kemudian hari kita
mempunyai anak, engkaulah yang membersihkan kotoran anak kita,” kata Putri
Anawai.
Oheo pun menerima permintaan Putri
Anawai. Setelah itu mereka menikah dan hidup bahagia.
Setahun kemudian, mereka dikarunia
seorang anak laki-laki. Sesuai dengan perjanjian, setiap kali anak mereka buang
air besar, Oheo-lah yang selalu membersihkan kotorannya. Begitulah setiap hari
hingga anak mereka berumur setengah tahun.
Pada suatu hari, ketika Oheo sedang
sibuk menganyam atap di halaman rumah, tiba-tiba si anak buang air besar.
“Bang! Anak kita sedang buang air
besar!” teriak Putri Anawai dari dalam rumah.
“Abang sedang sibuk,” jawab Oheo
sambil terus menganyam atap rumah.
“Bang! Anak kita sudah selesai buang
air besar. Bersihkan dulu kotorannya!” sang Istri kembali berteriak dari dalam
rumah.
Berkali-kali istrinya memanggil,
namun Oheo tetap menolak untuk membersihkan kotoran anak mereka. Bahkan ia
menyuruh istrinya yang membersihkannya.
“Kamu saja yang membersihkannya!”
jawab Oheo dengan nada keras.
Bagaikan disambar petir telinga
Putri Anawai mendengar jawaban suaminya. Pada saat itulah tiba-tiba terlontar
kata-kata dari mulutnya.
“Bang! Apakah Abang sudah lupa
dengan janji Abang sebelum kita menikah?”
“Untuk apa lagi kamu
mengungkit-ungkit masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu,” jawab Oheo dengan nada
ketus.
Hati Putri Anawai semakin sakit
mendengar jawaban suaminya. Dengan berderai air mata, ia pun membersihkan
sendiri kotoran anak mereka. Setelah itu, ia berdiri di depan jendela sambil
menyaksikan pemandangan alam di sekitarnya. Sesekali pandangan matanya mengarah
ke angkasa. Ia tiba-tiba merasa rindu ingin kembali ke Kahyangan untuk bertemu
keluarganya. Tak terasa, air matanya berderai membasahi pipinya.
Pada saat akan mengalihkan
pandangannya ke alam sekitar, tiba-tiba ia melihat sebuah kain berwarna ungu
terselip di ujung kasau bambu. Dengan tangan gemetar, perlahan-lahan ia menarik
kain itu. Alangkah terkejutnya saat kain yang masih utuh itu berada di
tangannya.
“Hei, bukankah ini selendangku yang
hilang itu? Tapi, kenapa ada di sini?” tanyanya dalam hati dengan penuh
keheranan.
“Mmm... pasti suamiku yang
menyembunyikannya,” ucapnya.
Alangkah senangnya hati Putri Anawai
karena telah menemukan selendangnya. Harapannya untuk kembali ke negerinya akan
tercapai. Ia pun segera menggendong anaknya dan menciumnya dengan penuh
kasih-sayang.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa
meninggalkanmu bersama ayahmu,” ucap Putri Anawai sambil mencium kening anaknya
dengan penuh kasih sayang.
Setelah itu, Putri Anawai meletakkan
anak itu di lantai rumah seraya memanggil suaminya.
“Bang! Tolong jaga anak kita! Aku
akan kembali ke Kahyangan.”
Pada mulanya, Oheo tidak percaya
akan hal itu. Ia tetap asyik dengan pekerjaannya. Setelah istrinya memanggilnya
berkali-kali, Oheo pun segera beranjak dari tempatnya dan segera masuk ke dalam
rumah. Ketika berada di dalam rumah, ia mendapati istrinya sedang terbang
keluar melalui jendela.
“Istriku, jangan tinggalkan kami!”
teriak Oheo.
Putri Anawai tidak lagi menghiraukan
teriakan suaminya. Kemudian ia terbang ke atas pohon pinang, lalu terbang
hinggap di atas pohon kelapa. Beberapa kali suaminya berteriak memanggilnya, ia
tetap tidak menghiraukannya. Akhirnya, ia terus terbang ke angkasa menuju
negeri Kahyangan.
Oheo sangat menyesali perbuatannya.
Seandainya dia membersihkan kotoran anaknya, pasti istrinya tidak akan
meninggalkannya. Kini, ia bertambah bingung, tidak tahu cara mengasuh anak yang
ditinggalkan oleh istrinya. Akhirnya, ia pun segera mencari bantuan kepada
siapa saja yang bersedia mengantarnya sampai ke negeri Kahyangan. Setelah
berhari-hari berkeliling ke mana-mana, akhirnya ia menemukan sejenis tumbuhan
yang bernama Ue-Wai yang bersedia menolongnya. Tetapi dengan syarat,
Oheo harus membuatkannya cincin untuk dipasang pada setiap tangkainya.
Setelah Oheo memenuhi permintaannya,
tumbuhan Ue-Wai menyuruh Oheo agar duduk dan berpegang erat di
tangkainya. Sebelum menjulang ke angkasa, Ue-Wai berpesan kepada
Oheo.
“Setelah berada di angkasa, kita
akan mendengarkan suara keras sebanyak dua kali. Jika mendengar suara pertama,
langsung tutup matamu, dan jika mendengar suara keras yang kedua bukalah
matamu,” ujar tumbuhan Ue-Wai.
“Baiklah. Aku akan mengikuti
petunjukmu,” jawab Oheo sambil menggendong anaknya.
Beberapa saat kemudian, Ue-Wai
itu pun melambung tinggi-tinggi dengan sangat cepat. Saat berada di angkasa,
terdengarlah bunyi letusan pertama yang sangat keras. Oheo pun segera menutup
mata rapat-rapat. Tidak berapa lama, terdengar lagi bunyi letusan kedua yang
lebih keras lagi. Oheo pun segera membuka kedua matanya. Alangkah terkejutnya
Ohea saat kedua matanya terbuka. Tiba-tiba ia melihat sebuah istana yang sangat
megah di hadapannya. Rupanya, ia sudah berada di halaman istana kerajaan negeri
Kahyangan.
Pada saat itu, para putri raja
sedang berjalan-jalan di halaman istana. Salah seorang di antara mereka melihat
Oheo sedang duduk bersama anaknya. Mereka pun segera melaporkan keberadaan Oheo
tersebut kepada raja. Mengetahui hal itu, sang Raja menyuruh Oheo menghadap
kepadanya.
“Hei Oheo! Jika kamu ingin bertemu
dengan istrimu, kamu harus melalui beberapa ujian, karena kamu telah berbuat
kesalahan kepada putriku,” ujar sang Raja.
“Ujian apakah itu, Tuan?” tanya Oheo
penasaran.
“Pertama, kamu harus
menumbangkan batu sebesar istana. Kedua, kamu harus memungut bibit padi
yang disebar di padang luas tanpa tersisa sebiji pun. Ketiga, kamu harus
menemukan istrimu yang tidur di dalam sebuah ruangan pada waktu malam gelap
gulita,” jelas sang Raja.
“Jika kamu gagal melalui salah satu
dari ketiga ujian tersebut, maka kamu tidak akan bertemu dengan istrimu untuk
selamanya,” tambah sang Raja mengancam.
Oleh karena keinginannya ingin
bertemu dengan istrinya sangat besar, Oheo pun berusaha untuk melaksanakan
ketiga ujian tersebut. Ujian pertama dan kedua berhasil ia lewati dengan
bantuan kawanan tikus, burung, dan hewan lainnya. Namun, ketika akan menjalani
ujian ketiga, Oheo merasa tidak mampu melakukannya. Kawanan tikus, burung dan
beberapa hewan lainnya juga tidak dapat membantunya.
Saat malam menjelang, hati Oheo
mulai gelisah dan cemas atas nasib yang akan menimpa dirinya. Jika gagal
melewati ujian ketiga tersebut, maka ia akan terus mengasuh dan merawat anaknya
sendirian. Ketika ia sedang duduk termenung sambil memangku anaknya, tiba-tiba
seekor kunang-kunang datang menghampirinya.
“Hei, Oheo! Kenapa termenung begitu.
Apakah kamu sedang ada masalah?” tanya kunang-kunang itu.
“Benar, aku mempunyai masalah yang
tidak mampu kupecahkan! Aku harus menemukan istriku di dalam ruangan pada waktu
malam gelap gulita. Sementara di ruangan itu terdapat banyak tempat tidur yang
bentuknya sama. Istriku dan saudari-saudarinya akan tidur di tempat tersebut,
sedangkan wajah mereka hampir sama,” keluh Oheo.
“Jangan khawatir, Oheo! Aku akan
membantumu. Nanti malam, ikuti ke mana aku terbang. Di mana aku hinggap, di
situlah istrimu,” ujar Kunang-kunang itu.
Oheo sangat senang mendengar petunjuk
itu. Pada malam harinya, kunang-kunang itu terbang mencari istri Oheo di dalam
ruangan yang gelap gulita. Sementara Oheo mengikutinya dari belakang sambil
menggendong anaknya. Tidak beberapa lama, kunang-kunang itu hinggap pada salah
satu tempat tidur. Dengan hati gemetar, Oheo bersama anaknya naik ke tempat
tidur itu. Ternyata benar, orang yang tidur di situ adalah istrinya. Alangkah
senangnya hati Oheo dapat bertemu kembali dengan istrinya. Begitu pula si anak,
ia merasa bahagia dapat tidur nyenyak di samping ibunya.
Oleh karena berhasil melalui ujian
tersebut, akhirnya Oheo diperkenankan untuk membawa serta istrinya kembali ke
bumi. Oheo bersama anak dan istrinya pun turun ke bumi melalui seutas tali.
Sesampainya di bumi, Ohea bersama
keluarganya memulai hidup baru. Oheo semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia
membuka kebun baru lagi dan menanaminya dengan berbagam jenis tanaman seperti
padi, jagung, umbi-umbian, kelapa, dan lain-lain. Dengan hasil kebun tersebut,
Oheo bersama keluarganya hidup sejahtera dan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar