Diriwayatkan
kira-kira abad XIII, Pulau Belitung pernah mengalami suatu musim Barat Ijau,
yakni kemarau panjang yang melebihi kemarau yang datang biasanya. Kemarau ini
mengakibatkan dimana-mana terjadi kekurangan air baik untuk keperluan minum
maupun kebutuhan rumah tangga. Tersebutlah kisah seorang ibu bernama Dambe’
berjalan terseok-seok mendukung seorang anaknya kesana-kemari. Anak yang ada
dalam gendongannya itu baru bisa merangkak. Tangan kirinya nampak menjinjing
sebuah gerebog (tempat air beraal dari tempurung kelapa yang diambil dagingnya
tanpa memecahkan tempurung, red.). Sementara tangan kanannya mengapit anaknya.
Sudah setengah hari Mak Dambe’ mencari air sambil menggendong anaknya. Terakhir
ia menyusuri kaki Gunung Tajam, tapi belum juga mendapatkan air. Sementara
anaknya sudah mulai menangis kehausan. Saking haus dan kecapekan Mak Dambe’
duduk melepaskan lelah di atas sebuah batu sambil melayangkan pandangannya
kalau-kalau ada petunjuk dimana ia bisa mendapatkan air.
Selang
beberapa lama, ia melihat seekor binat (bahasa setempat untuk menyebut
kura-kura darat, red.) sedang berjalan merambahi tanah menjauh dari batu
tempatnya melepas lelah. Melihat binat itu, Mak Dambe’ pun berfikir untuk
mengikuti saja karena pasti ia akan mendatangi sumber air. Namun ada satu hal
yang meghalanginya untuk mengikuti binat tersebut. Anak yang ada di pangkuannya
bagaimana pun juga adalah darah dagingnya. Tapi begitu dilihat binat sudah kian
menjauh ia memutuskan untuk mengikutinya dan akan meninggalkan anaknya di dekat
batu tempatnya beristirahat. Agar anaknya tak pergi kemana-mana, ia pun meletakkan
anaknya di atas tanah yang telah dipagarinya denga susunan batu berbentuk empat
persegi panjang. Setelah merasa anaknya aman dan tidak akan bisa pergi
kemana-mana Mak Dambe’ pun bergegas menyusul binat tadi. Beberapa lama berjalan
akhirnya binat yang diikutinya mengarah ke sebuah lembah. Ternyata di lembah
itu terdapat sumber air dari sebuah celah batu.
Ia
pun segera mengisi penuh gerebog-nya dan minum sepuas-puasnya. Setelah puas
minum barulah Mak Dambe’ tersadar bahwa ia harus segera kembali ke batu tempat
ia beristirahat tadi untuk mengambil anaknya yang ia tinggalkan di sana. Hampir
terbenam matahari barulah ia mencapai batu tersebut. Namun, apa yang
ditemuinya? Susunan batu yang memagari tempat ia menaruh anaknya sudah hancur.
Ia pun segera mengamati sekeliling tempat tersebut. Alangkah kagetnya dia.
Dilihatnya di atas tanah tampak bekas kaki seekor binatang berukuran sangat
besar daab tetasan darah di dekatnya. Mak Dambe’ pun mengikuti tapak kaki
binatang tersebut yang ternyata mengarah ke puncak Gunung Tajam. Namun, kendati
ia terus mengikuti tapak kaki tadi, anaknya tak juga ia temukan.
Karena
tak berhasil menemukan anaknya, dengan rasa sedih, kecewa, menyesal bercampur
putus asa dan kehilangan yang sangat, Mak Dambe’ pun segera kembali ke pondoknya.
Sekembalinya ke pondok, berhari-hari Mak Dambe’ tak bercampur dengan
tetangganya. Seharian ia hanya duduk di tangga pondoknya sambil menagisi
anaknya yang hilang tak tentu rimbanya. Lama kelamaan ia pun tak tahan
mendengar pertanyaan para tetangganya yang datang datang melihat tingkah
lakunya karena lain dari biasanya. Karena didesak ia pun menceritakan semua hal
ikhwal penderitaannya. Setelah itu barulah tetangganya tahu musibah yang
menimpa Mak Dambe’. Sejak saat itulah masyarakat setempat menyebut daerah
dimana Mak Dambe’ telah meninggalkan anaknya sebagai Padang Buang Anak, karena
di tempat itulah masyarakat beranggapan bahwa. Mak Dambe’ telah membuang
anaknya. Pesan dari cerita ini adalah: “Hati-hati dalam bertindak karena,
kelalaian dalam tindakan bisa mendatangkan persepsi buruk macam-macam di mata
orang lain”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar