Kamis, 08 Mei 2014

Tadulako Bulili ( Cerita Rakyat Sulawesi Tengah )


 
      Tadulako Bulili merupakan cerita dari daerah Sulawesi Tengah, yang mengisahkan keberanian dan kesaktian panglima perang di sebuah desa yang bernama Bulili. Mereka adalah Bantaili, Makeku dan Molove. Tadulako dalam bahasa daerah Sulawesi Tengah berarti Panglima perang. Tugas Tadulako adalah menjaga keamanan desa dari serangan musuh.

Alkisah pada jaman dahulu, Raja Sigi tertarik dengan kecantikan seorang gadis yang tinggal di desa Bulili. Raja Sigi kemudian menikahinya dan kemudian tinggal selama beberapa hari di desa tersebut. Raja berpamitan pergi karena harus mengurus kerajaannya, sementara istrinya yang tengah mengandung ditinggal di desa Bulili.

“Maaf adinda, kanda tidak bisa lama-lama tinggal disini. Kanda harus mengurus kerajaan.” kata Raja Sigi pada istrinya.
“Tetapi aku tengah hamil kanda. Tidak bisakah kanda menunggu hingga bayi ini lahir?” istrinya meminta Raja Sigi untuk lebih lama tinggal.

“Maaf adinda, urusan kerajaan tidak bisa ditunda.” Raja Sigi memberi alasan.

Istri Raja Sigi mengalah, walau sebenarnya ia sangat kecewa dengan sikap Raja Sigi yang meninggalkannya dalam keadaan hamil. Setelah bersusah payah mengandung, akhirnya istri raja pun melahirkan seorang bayi perempuan. Kendati mengetahui istrinya telah melahirkan, namun Raja Sigi tidak kunjung datang menemui dan menafkahi istrinya. Hal ini menyebabkan para pemuka dan tokoh masyarakat di desa Bulili merasa kasihan dengannya. Mereka tidak tega melihat istri seorang raja tapi hidup miskin dan harus menghidupi anaknya sendirian. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengirimkan Tadulako yang bernama Makeku dan Bantaili ke kerajaan Sigi untuk meminta pertanggungjawaban.

“Kasihan istri raja, ia harus menghidupi anaknya sendirian padahal ia sangat miskin. Kita harus meminta pertanggunjawaban Raja Sigi yang kurang ajar itu.” kata seorang tokoh masyarakat desa Bulili.

“Kita kirim saja Makeku dan Bantaili ke kerajaan Sigi. Bagaimana Makeku dan Bantaili, apa kalian berdua bersedia pergi ke kerajaan Sigi untuk meminta pertanggunjawaban Raja Sigi?” tanya tokoh masyarakat yang lain pada Makeku dan Bantaili.

“Baik, kami berdua akan pergi ke kerajaan Sigi.” kata Makeku menyanggupi mewakili rekannya.
Makeku dan Bantaili segera pergi ke kerajaan Sigi. Sesampainya di kerajaan Sigi, mereka berdua segera menghadap Raja Sigi dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Namun Raja Sigi justru memarahi mereka dan menantang mereka untuk mengambil lumbung padi di belakang istana jika mereka mampu.

“Maaf baginda Raja, istri Baginda telah melahirkan anak perempuan. Para Tetua di desa mengirim kami untuk meminta Baginda menafkahi istri dan anak Baginda. Baginda tahu sendiri, istri Baginda adalah orang yang sangat miskin.” kata Makeku.
“Apa! kalian berani datang kemari dan seenaknya menyuruhku! Dasar kurang ajar! Pergi sana pulang ke desamu!” bentak Raja Sigi.

“Maaf Baginda Raja, tolong nafkahilah anak istri Baginda yang sangat membutuhkan.” kata Makeku lagi.

“Jangan kurang ajar! Aku tidak sudi! Jika kalian mampu, bawalah lumbung padi di belakang istana ke desa kalian. Itu lebih dari cukup untuk menafkahi istriku. Itupun kalau kalian mampu.” Raja Sigi justru menantang para Tadulako.

Tidak menunggu lama, salah satu Tadulako yang bernama Bantaili segera mengeluarkan kesaktiannya untuk mengambil lumbung padi tersebut. Setelah berhasil mengangkat lumbung padi, para Tadulako Bullili segera pergi meninggalkan kerajaan Sigi. Mengetahui hal tersebut Raja Sigi menjadi sangat marah dan segera memerintahkan pasukan kerajaan untuk mengejar para Tadulako. Para Tadulako terus berlari menuju desa Bulili. Sampai di suatu sungai besar, mereka mengeluarkan kesaktiannya untuk menyeberangi sungai tersebut. Sementara pasukan raja tidak bisa menyeberangi sungai yang sangat besar tersebut. Akhirnya, Tadulako desa Bulili yang sakti berhasil membawa lumbung padi untuk diberikan pada istri raja dan anaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar