Tadulako Bulili merupakan cerita dari daerah
Sulawesi Tengah, yang mengisahkan keberanian dan kesaktian panglima perang di
sebuah desa yang bernama Bulili. Mereka adalah Bantaili, Makeku dan Molove.
Tadulako dalam bahasa daerah Sulawesi Tengah berarti Panglima perang. Tugas
Tadulako adalah menjaga keamanan desa dari serangan musuh.
Alkisah pada jaman dahulu, Raja Sigi tertarik
dengan kecantikan seorang gadis yang tinggal di desa Bulili. Raja Sigi kemudian
menikahinya dan kemudian tinggal selama beberapa hari di desa tersebut. Raja
berpamitan pergi karena harus mengurus kerajaannya, sementara istrinya yang
tengah mengandung ditinggal di desa Bulili.
“Maaf adinda, kanda tidak bisa lama-lama tinggal
disini. Kanda harus mengurus kerajaan.” kata Raja Sigi pada istrinya.
“Tetapi aku tengah hamil kanda. Tidak bisakah
kanda menunggu hingga bayi ini lahir?” istrinya meminta Raja Sigi untuk lebih
lama tinggal.
“Maaf adinda, urusan kerajaan tidak bisa
ditunda.” Raja Sigi memberi alasan.
Istri Raja Sigi mengalah, walau sebenarnya ia
sangat kecewa dengan sikap Raja Sigi yang meninggalkannya dalam keadaan hamil.
Setelah bersusah payah mengandung, akhirnya istri raja pun melahirkan seorang
bayi perempuan. Kendati mengetahui istrinya telah melahirkan, namun Raja Sigi
tidak kunjung datang menemui dan menafkahi istrinya. Hal ini menyebabkan para
pemuka dan tokoh masyarakat di desa Bulili merasa kasihan dengannya. Mereka
tidak tega melihat istri seorang raja tapi hidup miskin dan harus menghidupi
anaknya sendirian. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengirimkan Tadulako yang
bernama Makeku dan Bantaili ke kerajaan Sigi untuk meminta pertanggungjawaban.
“Kasihan istri raja, ia harus menghidupi anaknya
sendirian padahal ia sangat miskin. Kita harus meminta pertanggunjawaban Raja
Sigi yang kurang ajar itu.” kata seorang tokoh masyarakat desa Bulili.
“Kita kirim saja Makeku dan Bantaili ke kerajaan
Sigi. Bagaimana Makeku dan Bantaili, apa kalian berdua bersedia pergi ke
kerajaan Sigi untuk meminta pertanggunjawaban Raja Sigi?” tanya tokoh
masyarakat yang lain pada Makeku dan Bantaili.
“Baik, kami berdua akan pergi ke kerajaan Sigi.”
kata Makeku menyanggupi mewakili rekannya.
Makeku dan Bantaili segera pergi ke kerajaan
Sigi. Sesampainya di kerajaan Sigi, mereka berdua segera menghadap Raja Sigi
dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Namun Raja Sigi justru memarahi
mereka dan menantang mereka untuk mengambil lumbung padi di belakang istana
jika mereka mampu.
“Maaf baginda Raja, istri Baginda telah
melahirkan anak perempuan. Para Tetua di desa mengirim kami untuk meminta
Baginda menafkahi istri dan anak Baginda. Baginda tahu sendiri, istri Baginda
adalah orang yang sangat miskin.” kata Makeku.
“Apa! kalian berani datang kemari dan seenaknya
menyuruhku! Dasar kurang ajar! Pergi sana pulang ke desamu!” bentak Raja Sigi.
“Maaf Baginda Raja, tolong nafkahilah anak istri
Baginda yang sangat membutuhkan.” kata Makeku lagi.
“Jangan kurang ajar! Aku tidak sudi! Jika kalian
mampu, bawalah lumbung padi di belakang istana ke desa kalian. Itu lebih dari
cukup untuk menafkahi istriku. Itupun kalau kalian mampu.” Raja Sigi justru
menantang para Tadulako.
Tidak menunggu lama, salah satu Tadulako yang
bernama Bantaili segera mengeluarkan kesaktiannya untuk mengambil lumbung padi
tersebut. Setelah berhasil mengangkat lumbung padi, para Tadulako Bullili
segera pergi meninggalkan kerajaan Sigi. Mengetahui hal tersebut Raja Sigi
menjadi sangat marah dan segera memerintahkan pasukan kerajaan untuk mengejar
para Tadulako. Para Tadulako terus berlari menuju desa Bulili. Sampai di suatu
sungai besar, mereka mengeluarkan kesaktiannya untuk menyeberangi sungai
tersebut. Sementara pasukan raja tidak bisa menyeberangi sungai yang sangat
besar tersebut. Akhirnya, Tadulako desa Bulili yang sakti berhasil membawa
lumbung padi untuk diberikan pada istri raja dan anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar