Tersebutlah
pada zaman dahulu, Kerajaan Bali berhasil membakar Desa Kenaga. Saat itu, yang menjadi
pusat pemerintahan kerajaan Kenaga adalah Suradadi. Paihnya bernama Raden
Satria Nata.Setelah
kalah perang dengan Bali, Raden Satria Nata bersama pengikutnya mencari tempat
untuk membuka desa baru. Akhirnya, dijumpailah tempat yang mirip dengan desa
Kenaga. Desa itu bemama desa Madya. Raden Satria Nata dan pengikutnya kemudian
membuka ladang dan bercocok tanam di situ. Tanaman yang paling cocok adalah
jenis “komak” (dalam bahasa Jawa disebut “kara”). Konon, pada saat komak sedang
berbunga, datanglah putri Jin mengisap sari bunga komak. Salah satu putri Jin tertangkap oleh Raden Satria
Nata. Singkat cerita, putri Jin itu kemudian menjadi permaisuri Raden Satria
Nata. Namun, kedua belah pihak telah bersepakat untuk tidak saling berbicara
selama menjadi suami istri.
Dalam
perkawinan mereka, lahirlah seorang putra yang sangat disayang oleh Raden
Satria Nata. Perasaan itu ingin ia ucapkan kepada istrinya. Namun, hal itu
tidak mungkin karena ia tidak ingin melanggar janji yang telah disepakati.
Pada
suatu hari, sang istri pergi ke perigi (sumur) mengambil air. Anaknya
ditidurkan di atas “geong” (ayunan). Pada waktu itu, sang bayi sudah bisa
duduk. Kesempatan itu dipergunakan
oleh
Raden Satria Nata untuk mengambil selendang yang biasa dipakai untuk
menggendong putranya, lalu disembunyikan. Sejenak ia mengelus putranya yang
sedang tidur nyenyak.
Tidak
berapa lama kemudian, datanglah sang ibu. Sesampai di rumah, sang ibu melihat
putranya sudah bangun dan menangis. Maka diangkatlah putranya, sambil
mencari-cari selendangnya. Tanpa bicara sedikit pun sang ibu keluar masuk kamar
mencari selendangnya, namun tidak dijumpainya.
Melihat
wajah istrinya dan tingkah lakunya, Raden Satria Nata bertanya, “Apa yang
engkau cari? Barangkali ini.” la berkata sambil menyodorkan selendang yang
diambilnya. Istrinya segera mengambil selendang itu dan dengan sopannya ia
bersimpuh dan berkata, “Sampai di sini kita hidup bersama. Saya terpaksa
meninggalkan kanda karena kanda telah melanggar janji yang telah kita
sepakati.” Kemudian, ia bangkit dan pergi mengambil “joman” (jerami) dan
dibakarnya. Sang putri bersama Putranya lenyap bersama lenyapnya kepulan asap
jerami.
Raden
Satria Nata tak mampu menahan kepergian istrinya, kemudian ia pingsan. Setelah
siuman ia dianjurkan untuk bertapa di gunung Sesang, agar bisa bertemu dengan anak istrinya.
Selama
sembilan hari sembilan malam, ia tidak bisa berjumpa dengan istri dan anaknya.
Hanya suara istrinya yang terdengar. Istrinya mengatakan bahwa
dirinya tak mungkin kembali. Yang mungkin kembali adalah putranya, dengan
syarat harus diadakan upacara selamatan dengan sesajen yang dilengkapi dengan
dulang sebanyak empat puluh empat macam dan dibawa ke desa Kenaga.
Setelah
diadakan upacara yang dipimpin oleh Nek Sura, putranya dapat kembali dan
dipelihara oleh Nek Sura.
Raden
Satria Nata tidak puas sebelum berjumpa dengan istrinya, namun yang ditunggu
tidak kunjung datang. Akhirnya, Raden Satria Nata meninggal di pertapaan.
Sementara
itu, putra Raden Satria Nata telah berumur enam tahun, namun belum diberi nama.
Lalu, dicarilah orang yang bisa memberi
nama.
Tujuannya adalah ke Gel-gel, tempat leluhurnya, barangkali ada yang bisa
memberi nama. Konon pada saat menunggu perahu untuk menyeberang ke Bali,
tiba-tiba datang seorang tua mengaku keturunan Satria Dayak, satu-satunya yang
berhak memberi nama kepada putra Raden Satria Nata. Kemudian, putra Raden
Satria Nata diberi nama “Satria Tampena”.
Dari
nama Satria Tampena inilah konon asal nama kota Ampenan. Keturunan Satria Tampena terdapat di
desa Suradadi, Kabupaten Lombok Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar